Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

📚 Roadmap Menulisku (Bag. 2) 📚

Tak banyak yang saya ingat tentang perkembangan menulis di tingkat sekolah menengah. Meski diari penuh terisi nama teman-teman berikut foto culun baru gedenya, data yang ditulis tak lebih dari hobi, makes (makanan kesukaan), mikes, wakes (warna kesukaan), artis Mandarin yang difavoritkan, dan lain-lain. Waktu itu saya suka Aaron Kwok dan Jimmy Lin.

Beranjak SMA, saya mulai punya dua buku diari. Yang satu untuk mengoleksi data-data teman ala anak SMP, satunya tentang aktivitas dan perasaan saya keseharian. Tak ada kompetisi kepenulisan yang diikuti. Satu-satunya lomba yang pernah saya ikuti adalah English Reading Competition antar siswa SMA se-Kota Medan. Itu juga tidak dalam rangka mewakili sekolah. Saya ikuti secara pribadi berdasarkan berita di radio. Lombanya 'on air' di Radio Kardopa Medan.

Lulus di Fakultas Hukum UGM,  saya konsisten mengisi diari. Menuliskan hal-hal yang saya anggap penting setiap malam sebelum tidur. UGM dengan atmosfer intelektual yang baik seharusnya dapat mendukung minat kepenulisan saya dengan cukup baik pula. Sayangnya belum ada PKM waktu itu. Seandainya ada pasti saya mengikutinya. Aneka publikasi LKTN terpampang di mading fakultas. Tetapi kadang terlewati begitu saja. Dosen tidak terlalu ikut campur tangan untuk urusan kegiatan mahasiswa.

Mahasiswa dikondisikan untuk mandiri,  proaktif dan menggali potensinya untuk mengikuti berbagai kompetisi berdasarkan inisiatifnya sendiri. Tidak pernah saya dapati dosen menyerukan dan mengondisikan mahasiswa mengikuti ragam lomba. Mungkin karena rata-rata yang berkuliah di Gadjah Mada adalah orang-orang yang mempunyai motivasi tinggi, pilihan dari seluruh negeri. Jadi dosen tidak perlu bersusah payah mengajak mahasiswa ikut lomba ini dan itu.

Selain kuliah, saya mengikuti berbagai organisasi kemahasiswaan. Baik yang ada di dalam kampus maupun di luar kampus. Nah, di elemen gerakan kemahasiswaan eksternal kampus itu saya pernah mengikuti Training Komprehensif Jurnalisme Profetik (TKJP). Katanya, trainernya eks wartawan Majalah Tempo. Di ponpes mahasiswa tempat saya tinggal, pernah juga diadakan Training Jurnalistik tetapi hanya seharian.

TKJP diadakan rutin setiap hari Ahad pagi. Gratis bagi anggota aktif organisasi. Untuk menjaga komitmen kepesertaan, trainer menerapkan sistem gugur. Jika tugas menulis gagal disetorkan, maka nama kita akan dicoret dari daftar peserta. Dari sekian banyak teman mahasiswa yang ikut, sampai ujungnya hanya tersisa selingkaran duduk orang. Alasan sedang banyak tugas kuliah sudah pasti tak diterima dan harus pasrah dieliminasi.

Take it or leave it. Instruksi trainer bisa berupa mewawancarai narasumber, membuat feature, liputan mendalam dan menyusun artikel. Pena trainer amat sangat tajam mencorat coret hasil tulisan kami. Salah dan wajib diulangi kembali, tak lupa dengan deadline-nya. Saat skripsi saya jadi tidak kaget lagi. Sudah terbiasa di TKJP.

Luaran dari TKJP adalah sebuah majalah mahasiswa. Ada rasa haru akhirnya kami yang tinggal bersedikit itu bisa menerbitkan bacaan. Waktu itu bergantian dengan rekan yang lainnya, saya pernah menjadi redpel, pemred dan pemimpin umum.

Hikmahnya, sedikit banyak kami memahami seluk beluk menciptakan media berikut kerja-kerja di belakang layar sebuah media cetak. Pengalaman menerapkan teknik mewawancarai tokoh penting. Saya sendiri pernah mewawancara Bapak Bambang Soedibjo sebagai narasumber dari unsur dosen UGM.

Ketika akhirnya beliau jadi Mendiknas, ada secercah rasa bangga pernah bercakap-cakap dengan beliau. Saya tersenyum sendiri saat menuliskan nama beliau di kolom "Kepada Yth" dalam surat lamaran yang ditulis tangan guna melengkapi persyaratan mengikuti tes seleksi CPNS Dosen Kopertis, bertahun sesudah interview itu.

(Bersambung)

Sumber foto: Google

Posting Komentar untuk "📚 Roadmap Menulisku (Bag. 2) 📚"